kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Group Lippo Diduga Menyimpang dari Visi Awal GMTDC di Gowa-Makassar

Group Lippo Diduga Menyimpang dari Visi Awal GMTDC di Gowa-Makassar
Organisasi Masyarakat Adat, Budaya, Pusaka, dan Sejarah Sulawesi Selatan (Dok: KabarMakassar).

KabarMakassar.com — Komite Organisasi Masyarakat Adat, Budaya, Pusaka, dan Sejarah Sulawesi Selatan mengungkap dugaan penyimpangan serius dalam pengelolaan kawasan Gowa Makassar Tourism Development Corporation (GMTDC) yang diduga melibatkan Group Lippo sebagai pemegang saham mayoritas.

Dugaan tersebut dinilai telah menyimpang jauh dari visi awal pembangunan kawasan pariwisata terpadu yang dirancang pemerintah sejak awal 1990-an.

Pernyataan itu disampaikan anggota Dewan Majelis Pemangku Adat Kerajaan Gowa Bali Empona Salokoa, A. Idris AM A. Idjo Daeng Buang Karaengta Katangka, dalam konferensi pers di Makassar, Jumat (19/12).

Ia menyebut, perubahan arah pengelolaan GMTDC berdampak pada hilangnya fungsi utama kawasan sebagai destinasi wisata budaya dan bahari Sulawesi Selatan.

Idris menjelaskan, pendirian GMTDC secara hukum mengacu pada Surat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Tahun 1991 serta SK Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1188/XI/1991 yang ditandatangani Gubernur Sulsel saat itu, Ahmad Amiruddin. Dalam regulasi tersebut, GMTDC ditetapkan untuk mengembangkan kawasan usaha pariwisata terpadu seluas 1.000 hektare.

Kawasan tersebut terdiri atas 700 hektare di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, dan 300 hektare di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Menurut Idris, kawasan ini dirancang untuk menghidupkan kembali kejayaan Somba Opu sebagai pusat kebudayaan, perdagangan, dan pariwisata yang merepresentasikan identitas Sulawesi Selatan.

Visi tersebut, lanjutnya, kembali ditegaskan pada masa Gubernur Sulsel Palaguna melalui SK Gubernur Nomor 138/II/1995. Dalam kebijakan itu, GMTDC diproyeksikan sebagai kawasan pariwisata terpadu yang mencakup pusat perkantoran, perdagangan, permukiman, pusat kesenian, lapangan golf, jalur transportasi laut, marina, serta berbagai fasilitas olahraga air.

Namun, Idris menilai arah pembangunan berubah secara signifikan setelah Group Lippo masuk dan menjadi pemegang saham mayoritas pada pertengahan 1990-an. Sejak saat itu, peran pemerintah daerah dan swasta lokal dinilai semakin terpinggirkan dalam pengelolaan kawasan.

“Konsep besar yang dirancang oleh Gubernur Ahmad Amiruddin dan Gubernur Palaguna tidak lagi terlihat. Kawasan yang semestinya menjadi pusat wisata budaya dan bahari justru berkembang menjadi klaster perumahan elit dan pusat bisnis,” ujar Idris.

Ia menyoroti pembangunan di kawasan Tanjung Bunga dan Barombong yang dinilai lebih didominasi kepentingan komersial, seperti perumahan mewah, rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan lembaga pendidikan swasta.

Menurutnya, pembangunan tersebut mengabaikan nilai sejarah, budaya, serta fungsi utama kawasan sebagai destinasi pariwisata bahari.

Selain perubahan fungsi kawasan, Idris juga mengungkap dugaan perampasan tanah adat dan lahan garapan warga miskin yang telah bermukim secara turun-temurun di wilayah pesisir Tanjung Bunga dan Barombong. Ia menilai masyarakat adat dan warga penggarap berada dalam posisi lemah ketika berhadapan dengan kekuatan modal besar.

“Surat keputusan gubernur seolah dijadikan legitimasi untuk bertindak sewenang-wenang. Masyarakat adat dan warga penggarap justru terpinggirkan,” katanya.

Komite tersebut juga menyoroti dugaan pengalihan aset tanah GMTDC kepada anak usaha Group Lippo tanpa pembangunan langsung oleh GMTDC sebagaimana mandat awal pendirian. Kondisi ini dinilai berpotensi merugikan pemerintah daerah dan membuka ruang dugaan penyimpangan pengelolaan aset.

Atas temuan tersebut, Komite Organisasi Masyarakat Adat, Budaya, Pusaka, dan Sejarah Sulawesi Selatan menyampaikan sejumlah tuntutan kepada DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka mendesak DPRD menggelar rapat dengar pendapat dengan memanggil seluruh pihak terkait dalam pengelolaan GMTDC.

Selain itu, mereka meminta pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan unsur penegak hukum dan masyarakat, serta penghentian sementara seluruh aktivitas GMTDC dan Group Lippo di kawasan Tanjung Bunga dan Barombong hingga proses investigasi selesai.

Komite juga mendorong dilakukannya audit keuangan menyeluruh terhadap pengelolaan GMTDC dengan melibatkan auditor independen maupun lembaga resmi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Kami ingin persoalan ini dibuka secara terang-benderang demi keadilan bagi masyarakat adat, warga pesisir, dan demi menjaga sejarah serta masa depan Sulawesi Selatan,” pungkas Idris.