KabarMakassar.com — Petani sekitar kawasan Hutan Laposo Niniconang yang tergabung dalam Serikat Tani Latemmamala kecewa dengan sikap Pemerintah yang tidak mengeluarkan lahan pertanian (kebun) mereka dari klaim Kawasan Hutan Negara.
Staf Bidang Ekosob LBH Makassar, Hasbi Assidiq yang mendampingi para warga mengatakan pemerintah menunjukan sikap sewenang-wenangnya terhadap warga negaranya.
Hal tersebut kata dia terpotret dalam pertemuan warga dengan pihak Pemerintah di Aula Kantor Kecamatan Lalabata, Rabu (29/11)
Dalam pertemuan, hadir puluhan warga yang berasal dari beberapa Desa/Kelurahan yang lahan dan pemukimannya masuk dalam klaim kawasan hutan.
Sementara dari unsur Pemerintah yang hadir yakni Pemerintah Kelurahan Botto, Kelurahan Bila, Camat Lalabata, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar, BPN Soppeng, Perwakilan Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng, Danramil, dan pihak Polsek Lalabata.
Pertemuan yang diinisiasi oleh BPKH Wilayah VII Makassar atas desakan warga ini, tidak menemukan solusi atas tuntutan warga mengenai keterlibatan mereka sebagai pihak ketiga dalam proses Penataan Batas Kawasan Hutan yang telah dilakukan Panitia Tata Batas di Kelurahan Bila dan Botto.
Pertemuan yang didorong warga ini dimaksudkan untuk meminta hak mereka sebagai pihak ketiga, agar lahan yang merupakan satu kesatuan dengan pemukiman dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.
Dimana proses Penataan Tata Batas merupakan proses paling penting karena akan menjadi dasar bagi perubahan penetapan Kawasan Hutan.
Salah satu rangkaian Penataan Tata Batas adalah proses identifikasi dan penyelesaian hak pihak-pihak ketiga.
Namun dalam prakteknya pada pihak pemerintah yang melaksanakan kewenangan teknis di lapangan tidak mengeluarkan lahan garapan warga yang sudah dikelola sejak lama sebelum lahir aturan soal penetapan kawasan hutan.
“Sejak jaman Belanda, orang-orang tua kita sudah menguasai dan menggarap lahan disini untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi mana duluan, kawasan hutan atau perkampungan?”, tanya Natu, salah seorang warga.
Hasbi menerangkan bahwa pihak BPKH Wilayah VII Makassar membatasi proses identifikasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga hanya terbatas pada lahan yang memiliki bukti secara tertulis maupun bukti tidak secara tertulis melalui pemukiman, fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Sementara kata dia keberadaan fasilitas umum berupa lahan pekuburan tua dan lahan pertanian (kebun) yang telah disampaikan oleh warga tidak ditanggapi secara serius.
"Meskipun warga telah menunjukkan bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sebagai bukti penguasaan dan pemanfaatan lahan. Saat warga meminta pihak dari BPKH Wilayah VII Makassar bersama instansi pemerintah yang lain melakukan verifikasi di lapangan, permintaan tersebut tidak direspons", ungkap Hasbi dalam siaran pers yang diterima, Jumat (1/12).
Salah satu warga, Hatta mempertanyakan bahwa jika hanya pemukiman yang bisa dikeluarkan dari kawasan hutan, dan lahan garapan tidak, maka bagaimana warga bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Jika yang dikeluarkan hanya pemukiman, bagaimana kita rakyat bisa bertahan hidup?”, tanya Hatta.
Pertanyaan warga tersebut justru direspon oleh Camat Lalabata dengan bertanya balik bagaimana warga masih bisa hidup sampai saat ini.
Hasbi menilai, respon yang disampaikan oleh pemerintah tersebut, sejatinya sikap yang tidak menunjukkan empati dan keberpihakan pada kepentingan warganya, mengabaikan situasi warganya, yang selama ini berjuang untuk merebut haknya dan mendapatkan kepastian hukum sehingga mereka dapat bertani secara aman dan nyaman tanpa kekhawatiran harus berurusan dengan pihak Polisi Kehutanan ketika mereka menebang pohon di kebun mereka sendiri.
"Kekhawatiran ini berdasar, sebelumnya 6 petani harus berproses hukum karena menebang pohon di kebunnya sendiri", ujar Hasbi.
“Tindakan BPKH dan Pemerintah terkait yang mengabaikan fakta adanya fasilitas umum dan lahan garapan warga yang masih dalam kawasan hutan, merupakan tindakan yang terang bentuk arogansi negara terhadap warganya. Kehadiran negara justru hadir menjadi malapetaka untuk warga yang kebunnya ditetapkan sebagai kawasan hutan, padahal mereka telah hidup berkebun secara turun temurun,” terang Hasbi.
Ia menjelaskan bahwa tindakan Petugas Pemancangan Batas Sementara Kawasan Hutan dan Panitia Tata Batas yang tidak melibatkan partisipasi warga berdasarkan SNP No 7 Komnas HAM, poin ke 109 merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam bentuk penyingkiran, marginalisasi, dan eksklusi masyarakat hukum adat/loka/desa/tempatan dari ruang hidupnya sendiri, sehingga melanggar hak hidup, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan hak budaya.
“Bahwa tindakan BPKH dan pemerintah terkait hari ini melanggengkan praktik penetapan Kawasan hutan yang mengabaikan hak warga. Padahal merujuk pada Standar Norma dan Pengaturan Nomor 7 Tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam, poin 112 menegaskan bahwa Negara wajib melindungi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan dengan cara melakukan koreksi politik atas kebijakan kehutanan, termasuk didalamnya koreksi atas proses penetapan dan pengukuhan sepihak oleh negara dengan mengutamakan penerapan prinsip dan norma HAM dalam tata kelola kehutanan secara nasional,” pungkas Hasbi Assidiq.
Atas situasi tersebut, Serikat Tani Latemmamala Soppeng bersama dengan YLBHI-LBH Makassar menegaskan bahwa keberatan atas pemancangan batas sementara kawasan hutan yang tidak melibatkan warga sekitar.
Selanjutnya, meminta kepada Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan selaku atasan dari BPKH Wilayah VII Makassar, memberikan teguran dan sanksi kepada pihak yang melakukan pemancangan batas sementara Kawasan hutan tanpa menghormati hak warga sekitar.
Selain itu, meminta kepada Komnas HAM RI untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM dengan diabaikannya hak atas tanah warga yang telah lebih dulu menggarap di wilayah tersebut.