kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

LBH Makassar Soroti PHK Massal, Konflik Agraria dan Kriminalisasi Warga Sepanjang 2025

LBH Makassar Soroti PHK Massal, Konflik Agraria dan Kriminalisasi Warga Sepanjang 2025
konferensi pers LBH makassar

Kabarmakassar.com — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)–LBH Makassar menyoroti memburuknya pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) masyarakat akibat kebijakan pembangunan sepanjang 2025.

Dalam Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2025 yang dipaparkan dalam konferensi pers di Kantor LBH Makassar, LBH Makassar mencatat ribuan warga terdampak pemutusan hubungan kerja, pencemaran lingkungan, serta konflik agraria yang disertai intimidasi dan kriminalisasi, Rabu (24/12)

Paparan Situasi Hak Ekosob disampaikan oleh Kepala Bidang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya LBH Makassar, Hasbi Assidiq. Ia menyampaikan bahwa sepanjang 2025, pola pembangunan dinilai berjalan secara sentralistik, minim partisipasi publik bermakna, dan lebih mengedepankan kepentingan investasi dibandingkan perlindungan hak warga.

“Sepanjang 2025, kami melihat pembangunan dijalankan tanpa partisipasi publik yang memadai dan berdampak langsung pada hilangnya ruang hidup warga, baik buruh, petani, masyarakat adat, maupun warga pesisir,” kata Hasbi dalam konferensi pers tersebut.

LBH Makassar mencatat, di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), sebanyak 1.962 buruh dari grup usaha PT Huadi Nickel Alloy Indonesia mengalami PHK.

Selain itu, aktivitas industri nikel di kawasan tersebut berdampak pada pencemaran udara, laut, dan air tanah yang mempengaruhi sedikitnya 9.010 warga di Desa Borong Loe dan Desa Papan Loe.

Menurut Hasbi, kondisi ketenagakerjaan di KIBA juga ditandai dengan sistem kerja 12 jam per shift tanpa waktu istirahat yang layak, serta skema insentif yang menggantikan upah lembur.

“Praktik ini menunjukkan adanya pembiaran negara terhadap pelanggaran hak buruh, bahkan setelah buruh menuntut kekurangan upah lembur senilai lebih dari Rp1,2 miliar,” ujarnya.

LBH Makassar juga menyoroti putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar yang mengesahkan skema pengupahan tersebut. Putusan itu dinilai semakin melemahkan perlindungan hak buruh dan memperlihatkan kegagalan negara dalam menjamin keadilan bagi pekerja.

Di sektor agraria dan sumber daya alam, konflik lahan masih terus terjadi. Di Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, sekitar 3.436 jiwa Masyarakat Adat Rampi hidup di dalam wilayah konsesi tambang emas seluas 12.010 hektare.

Aktivitas pertambangan tersebut dinilai mengancam wilayah adat, sumber air, lahan pertanian, serta ruang hidup kultural masyarakat setempat.

Hasbi menyebut izin tambang diterbitkan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat.

“Kami mencatat sedikitnya 17 warga Rampi dilaporkan secara pidana, yang menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman suara masyarakat adat,” katanya.

Salah seorang tokoh adat Rampi yang dikutip dalam CATAHU LBH Makassar menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak pertambangan tersebut.

“Kalau gunung-gunung itu dihancurkan, berarti pemukiman dan pertanian Rampi tidak layak huni. Ini sama saja menyuruh kami keluar dari tanah kami sendiri,” ujarnya.

Konflik agraria juga terjadi di Kabupaten Takalar. Sebanyak 587 kepala keluarga petani Polongbangkeng yang memperjuangkan lahan eks-HGU PTPN seluas sekitar 630,64 hektare dilaporkan menghadapi intimidasi, kekerasan, hingga ancaman kriminalisasi.

Sementara itu, di kawasan Bara-baraya, Kota Makassar, sebanyak 196 warga termasuk 103 perempuan dan 12 balita terancam kehilangan rumah akibat rencana eksekusi lahan yang berbasis klaim waris.

Di wilayah pesisir Sulawesi Barat, LBH Makassar mencatat rencana tambang pasir di enam desa pada tiga kabupaten memicu konflik serius. Sebanyak 18 warga dilaporkan dikriminalisasi karena mempertahankan laut dan muara sebagai sumber penghidupan mereka.

Meski demikian, LBH Makassar juga mencatat munculnya solidaritas warga dalam menghadapi tekanan pembangunan. Buruh KIBA melakukan boikot produksi selama 16 hari yang menghambat sekitar 6.000 ton feronikel.

Petani Polongbangkeng melakukan reklamasi lahan dengan menanami tanaman pangan, sementara Masyarakat Adat Rampi menggelar musyawarah adat lintas desa untuk menegaskan penolakan terhadap tambang.

“Solidaritas warga menjadi penyangga terakhir keadilan sosial di tengah situasi yang kami nilai semakin menekan hak-hak dasar rakyat,” kata Hasbi.

LBH Makassar menegaskan bahwa berbagai peristiwa tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan yang layak, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas tanah dan ruang hidup, serta hak atas partisipasi dan keadilan.