PDAM Makassar

Menuntut Keadilan, Cerita Difabel di Makassar

Menuntut Keadilan, Cerita Difabel di Makassar
Ilustrasi.

KabarMakassar.com -- “Nama saya I-I-N, Iin, saya penyandang disabilitas tuli.”

Begitulah Iin memperkenalkan dirinya saat bertemu dengan saya hari itu, Senin (27/6).

“Saya berhenti sekolah saat kelas satu SD, diejek oleh teman-teman dengar karena saya tuli dan tidak seperti mereka,” lanjutnya sambil tersenyum pada saya.

Iin terlahir tuli. Sejak kecil Ia kerap diejek. Sekalipun tidak mendengar langsung, Iin bisa membaca gerakan bibir teman-teman sekelasnya. 

“Ih pepe,” begitu teman-teman sekelasnya memanggil Iin. Artinya, si tuli. 

Saat itu, Iin ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah luar biasa (SLB) yang ada di Makassar. Tapi orang tuanya tak mendukung niatannya. Karena itu, Iin tidak memiliki ijazah pendidikan sama sekali.

Iin yang tidak memiliki ijazah ini berimbas pada sulitnya ia mencari pekerjaan. Tahun ini ia berusia 25 tahun dan sudah berkali-kali ditolak oleh perusahaan saat melamar pekerjaan. 

Ia pernah melamar pekerjaan di sebuah gerai makanan cepat saji. Jangankan panggilan wawancara, ia langsung menerima pemberitahuan bahwa ia tak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan.

“Saya pernah melamar ke (Iin menyebutkan nama salah satu restoran siap saji) dengan teman saya tapi karena saya tidak tamat sekolah sama sekali, saya tidak diterima,” jelasnya.

Bagi Iin maupun orang lain, pekerjaan menjadi hal yang penting sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri maupun keluarga. Pekerjaan menjadi sebuah hak yang harus dipenuhi sebagaimana yang diatur pada Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.

Pasal ini seolah dapat memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. 

4b200af5-1d50-4ecc-b166-45c63fc7409e

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 menyebutkan bahwa  "Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.

Padahal, pemerintah juga ikut mengatur hak bekerja bagi penyandang disabilitas dalam undang-undang yang sama pasal 11 poin a menyebutkan bahwa penyandang disabiitas memiliki hak “memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi”.

Iin yang ditolak bekerja karena faktor kualifikasi pendidikan yang minim bukan menjadi satu-satunya alasan perusahaan menolak. Kondisi Iin yang tuli juga menjadi alasan kemungkinan perusahaan tidak bisa menerima karyawan dengan kondisi tersebut. Maka, tidak adanya ijazah apapun yang dimiliki Iin dan fasilitas alat bantu dengar menjadi perhatian bagaimana seharusnya pemerintah memberikan mobilitas pendampingan dan pelatihan keterampilan agar Iin dan penyandang disabilitas lainnya dapat hidup secara mandiri dan produktif sesuai dengan undang-undang penyandang disabilitas tentang hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat pasal 23 bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan “(a) mobilitas pribadi dengan penyediaan alat bantu dan kemudahan untuk mendapatkan akses, (b) mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri di tengah masyarakat, (c) mendapatkan pelatihan dan pendampingan untuk hidup secara mandiri”.

Diskriminasi dan Akses yang Tidak Ramah

Cerita lainnya datang dari Ismail Naharuddin, seorang penyandang disabilitas netra yang sempat bekerja sebagai seorang jurnalis di salah satu media online di Makassar setahun lalu. Banyak cerita yang Ismail alami.

Ismail merupakan penyandang disabilitas buta total yang sehari-harinya menggunakan alat bantu tongkat dalam aktivitasnya justru ditempatkan pada rubrik liputan kriminal. Awalnya ia merasa baik-baik saja melakukan wawancara melalui telepon namun pihak redaksi tempat ia bekerja suatu hari sempat memintanya untuk turun langsung ke lapangan melakukan liputan. Hal ini jika dilihat dari kacamata umum tentu tidak masuk akal. Namun, Ismail saat itu mau tidak mau mengiyakan hal tersebut.

Ia dengan menumpangi ojek online mendatangi kantor kepolisian setempat untuk mengkonfirmasi suatu kasus kriminal. Ismail kemudian masuk ke kantor polisi dan merasa kebingungan. Ia tidak tahu dari mana ia harus memulai liputan. Ia menganggap dirinya aneh dengan melakukan liputan langsung di lapangan mengingat kondisi dirinya yang tidak bisa melihat apapun. Ia merasa hal tersebut berat untuk dilakukannya sehingga ia mengurungkan niat dan berbalik pulang ke rumah.

985e9add-724e-4891-aac4-4c6245b6a580

“Saya masuk ke kantor polisi, saya merasa aneh dan tiba-tiba saya merasa ini berat sekali untuk saya lakukan. Akhirnya saya pulang,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, Selasa (28/6).

Laki-laki berusia 25 tahun itu pun sadar dan merasa pekerjaan yang digelutinya semakin dirasa berat dan tidak bisa dilakukan. Padahal, sejak awal bekerja pihak redaksi telah bertemu dengannya dan mengetahui pasti bahwa dirinya merupakan penyandang disabilitas netra total blind (buta). Ia akhirnya memutuskan berhenti dan keluar dari pekerjaan tersebut

“Sejak awal kan saya ketemu pimrednya dan dia tahu bahwa saya penyandang disabilitas netra. Saya merasa ini kok berat sekali, saya bingung apakah saya yang tidak bisa melakukan ini atau memang akses yang diberikan ke saya itu salah. Saya akhirnya keluar dan tidak pernah lagi mengirim berita,” sambungnya.

Ismail yang merupakan lulusan sarjana Ilmu Komunikasi masih merasa akses bekerja bagi penyandang disabilitas sangat tidak ramah. Jika dibandingkan dengan Iin yang ditolak bekerja berkali-kali karena tidak memiliki ijazah apapun maka Ismail menjadi contoh bahwa ijazah pendidikan tidak menjamin adanya perlakuan yang ramah atau penempatan yang adil terhadap pekerja disabilitas. Padahal undang-undang yang sama Pasal 11 poin f menyebut bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak mendapatkan “penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat”. 

Ditolak Orangtua dan Siswa

Erlina, penyandang disabilitas tuli yang sebelumnya bekerja sebagai tenaga bantu dan pengajar di salah satu SLB di Makassar selama kurang lebih delapan tahun lamanya.

Ia menuturkan kalau dirinya pernah ditolak oleh para siswa saat akan mengajar. Erlina juga ditolak sejumlah orang tua siswa dikarenakan memiliki kondisi berbeda dari guru lainnya.

“Selama delapan tahun, saya pernah ditolak siswa dan orangtua siswa juga saat mengajar,” ungkapnya saat ditemui di Café Tulus, Senin (27/6)

Perempuan berusia 31 tahun itu mengaku sejak awal pertama kali mengajar membawakan mata pelajaran matematika, para siswa memang sudah tidak menyukai dan tidak menerimanya untuk mengajar. Meski begitu ia tetap semangat dan melanjutkan pekerjaannya untuk mendidik dan berbagi pengetahuan dengan para siswa. Namun, suatu hari di tahun 2018 saat memasuki ruang kelas untuk mengajar sontak Erlina kaget saat tak menemui satu orang pun siswanya di dalam kelas lantaran para siswa secara bersama-sama memilih tidak ingin masuk ke kelas dan diajar olehnya.

“Saat itu saya masuk mengajar ke kelas, tapi tidak ada satu pun siswa saya di ruangan. Saya cari tahu ternyata mereka tidak mau saya jadi guru mereka karena dipikir saya punya kekurangan, orang tua mereka juga tidak mau kalau saya yang mengajar anak-anak mereka,” sambungnya.

193cdcb8-53d4-420c-aae7-87eefd000b7cSelain itu, selama bekerja sebagai pengajar, ia harus membeli sendiri alat bantu dengar karena pihak sekolah tidak menfasilitasinya. Ia juga mengaku beberapa kali mengajari para siswa menggunakan bahasa isyarat guna mendukung aksesnya dalam mengajar. Namun, para siswa tetap kukuh tidak ingin diajar olehnya.

“Sejak mengajar para siswa dan orang tuanya memang sudah tidak menerima saya. Mungkin karena saya guru dengan kondisi disabilitas,” pungkasnya.

Erlina pun mulai merasa resah karena para siswa tidak ingin masuk kelas dan diajar olehnya, ia pun mencoba untuk mendiskusikan hal tersebut dengan pihak kepala sekolah. Namun dirinya sama sekali tidak mendapatkan kejelasan hingga akhirnya ia mulai jarang ke sekolah dan memutuskan untuk berhenti.

“Setelah itu saya mulai jarang ke sekolah, kalau pun ke sekolah saya tidak masuk mengajar. Kepala sekolah juga tidak ada tindakan apa-apa melihat saya tidak mengajar, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti” katanya.

Cerita Erlina sebagai tenaga pengajar yang mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekolah dan tidak adanya advokasi dari pihak sekolah menjadi bukti nyata bahwa ruang kerja bagi penyandang disabilitas masih sangat tidak adil dan tidak berpihak pada hak asasi manusia. Kondisi Erlina yang ditolak para siswa dan orangtua siswa SLB tempat ia mengajar yang notabenenya juga merupakan sekolah bagi anak-anak penyandang disabilitas memberikan bukti kurangnya rasa empati diantara mereka. Selain itu, sebagai sesama guru, Erlina tidak mendapatkan dukungan solidaritas apapun dari para guru lainnya.

Maka, cerita Erlina menjadi tamparan keras bagaimana kita seharusnya saling menghargai dan mengakomodasi hak-hak seseorang baik itu penyandang disabilitas maupun non disabilitas. Melihat undang-undang penyandang disabilitas Pasal 10 poin b menyebutkan bahwa penyandang disabilitas “mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan” yang berarti Erlina dan siapapun diluar sana memiliki kesempatan yang sama dengan orang lainnya.

Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas yang Minim

Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) merilis data tahun 2021 jumlah disabilitas yang tersebar di Sulsel sebanyak 7.690 orang. Lalu, jumlah disabilitas yang tersebar di Kota Makassar sebanyak 1.352 orang. Namun rupanya, data tersebut belum konkret melihat langkah Pemprov Sulsel yang masih melakukan berbagai cara dan upaya pendataan dengan mendeteksi keberadaan para difabel.

Sementara itu, Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Makassar merilis data tahun 2021 tentang jumlah pekerja penyandang disabilitas sebanyak 102 orang yang tersebar di 18 perusahaan atau instansi dimana tiga diantaranya merupakan instansi pemerintah dan 15 lainnya adalah perusahaan swasta.

Dari 1.352 orang penyandang disabilitas yang tercatat, sebanyak 295 diantaranya berusia dibawah 18 tahun dan 1.055 orang lainnya berusia diatas 18 hingga 50 tahun yang artinya termasuk sebagai angkatan kerja. Maka jumlah tenaga kerja disabilitas sebanyak 102 orang merupakan hanya 9% (persen) dari total keseluruhan jumlah penyandang disabilitas yang berusia diatas 18 tahun. Data jumlah persentase tenaga kerja disabilitas ini kemugkinan diperkirakan lebih kecil mengingat masih banyak penyandang disabilitas yang tidak terdata dan tercatat sama sekali.

Kepala Bidang Penempatan Kerja dan dan Perluasan Kesempatan Kerja Disnaker Kota Makassar, Heny Rulianti Masnawi menjelaskan sejumlah kendala dan tantangan yang dihadapi para penyandang disabilitas dalam mengakses kerja yakni kualifikasi yang disyaratkan oleh pihak perusahaan seperti usia, pendidikan dan keterampilan. Namun, ia mengaku sejumlah perusahaan mulai melonggarkan kebijakan syarat usia bagi penyandang disabilitas.

8b18ffe3-5388-43b9-ba7c-cfbc50ca0ab9“Kendala yang dihadapi disabilitas biasanya terkait usia, keterampilan yang dimiliki dan kualifikasi pendidikan. Tapi kita lihat ada sejumlah perusahaan yang toleran terhadap usia jadi dia turunkan misalnya,” ujarnya saat ditemui di Kantor Disnaker Makassar, Kamis (14/07)

Ia mengaku, sejumlah perusahaan di Makassar memang masih minim menyediakan kuota pekerja bagi penyandang disabilitas. Bahkan, sejumlah perusahaan yang memperkerjakan disabilitas notabenenya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang ritel makanan cepat saji yang hanya membutuhkan keterampilan dasar.

Ia juga tak menampik jika jumlah pekerja disabilitas di instansi pemerintah memang masih sangat minim. Ia mengaku proses penempatan dan kuota bagi penyandang disabilitas bukan termasuk tanggung jawab pihaknya.

Diketahui jumlah data Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Tahun 2021 dimana tiga instansi pemerintah yang mempekerjakan penyandang disabilitas yakni Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar sebanyak 2 orang, Dinas Koperasi dan UKM Sulsel 1 orang dan Pemerintah Kota Makassar pada Bagian Umum sebanyak 6 orang.

Jika dilihat data jumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Makassar yakni sebanyak 52 OPD, namun justru ternyata hanya ada dua OPD yang mempekerjakan penyandang disabilitas. Selain itu jumlah perusahaan swasta baik itu skala besar dan kecil terdapat sekitar 14.584 unit usaha dari berbagai bidang. Namun jumlah perusahaan swasta yang tercatat mempekerjakan penyandang disabilitas hanya ada 15 perusahaan. Padahal dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2016 Pasal 53 menyebut bahwa setiap “(1) pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. (2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”.

Heny juga menjelaskan selama pandemi covid-19 jumlah pekerja disabilitas mengalami penurunan diakibatkan pihak perusahaan yang merumahkan para pekerjanya dan melakukan pemutusan kerja sepihak. Data Disnaker menunjukkan sekitar 9.346 pekerja di Makassar dirumahkan namun pihaknya tidak memiliki data spesifikasi jumlah khusus penyandang disabilitas.

“Selama pandemi juga itu kan jumlahnya berkurang karena sebagian dirumahkan karena perusahaan tidak sanggup bayar gaji akhirnya melakukan pemutusan kerja nah sekarang kan sementara pemulihan juga,” ujarnya.

Dibutuhkan Ruang Aman dan Ramah Disabilitas

Sementara itu, Nur Syarif Ramadhan, Ketua Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulsel yang juga merupakan difabel law vision menyebutkan bahwa data jumlah difabel di Sulsel khususnya Kota Makassar masih belum konkret, bahkan sejumlah OPD memiliki data yang berbeda secara signifikan satu sama lain.

"Sayang sekali misalnya kita tidak punya data yang konkret mengenai ada berapa jumlah difabel di Makassar. Kami sendiri PerDIK pernah menelusuri beberapa data misalnya data dari dinas sosial, dinas kesehatan, dinas pendidikan namun dalam riset kami mencoba memvalidasi data itu sayang sekali memang tidak ada. Ada beberapa data yang tidak konkret misalnya ternyata dia bukan difabel tetapi terkategorisasikan sebagai difabel" ungkapnya saat ditemui di Sekretariat PerDIK, Rabu (6/7)

Syarif menyayangkan jumlah pekerja disabilitas yang diterbitkan oleh Disnaker Kota Makassar yang masih begitu minim dari jumlah total disabilitas yang tercatat. Padahal kuota jumlah pekerja disabilitas sudah diatur dalam undang-undang.

Meski begitu, Syarif tidak menampik bahwa memang tidak ada acuan yang dapat mengatakan bahwa kuota yang dimaksud dalam undang-undang tersebut apakah sudah terpenuhi atau tidak sama sekali. 

Ia menjelaskan sejumlah tantangan yang dihadapi para disabilitas dalam mengakses pekerjaan seperti kualifikasi pendidikan hingga kondisi perusahaan yang tidak memahami cara berkomunikasi dengan para disabilitas dan akses fasilitas yang tidak inklusif sehingga enggan membuka kuota lowongan pekerjaan bagi disabilitas.

Dirinya menilai pemerintah mesti melakukan intervensi dan penyesuaian terhadap kualifikasi pendidikan bagi penyandang disabilitas yang disyaratkan oleh perusahaan ketika merekrut tenaga kerja.

Menurutnya, sejumlah jenis pekerjaan yang tidak menitik beratkan pada kualifikasi pendidikan melainkan keterampilan dan potensi harusnya dilakukan penyesuaian.

“Pemerintah mesti melakukan intervensi dan juga penyesuaian terhadap perusahaan. Misalnya beberapa pekerjaan yang tidak menitikberatkan pada kualifikasi pendidikan melainkan keterampilan dan potensi misalnya dia memiliki kemampuan dan potensi di kerjaan itu mestinya dibolehkan saja,” sambungnya.

45ad16a6-06f2-4258-aad2-048eea14cfedIa menjelaskan sudah seharusnya pemerintah dan instansi beserta perusahaan melakukan evaluasi serta mendorong peningkatan keterampilan para penyandang disabilitas dengan menyiapkan balai latihan khusus. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh dinas terkait namun seluruh instansi yang saling berintegrasi guna memenuhi dan mengakomodasi seluruh hak-hak penyandang disabilitas dalam hal ini hak memperoleh pekerjaan.

Adapun kasus perundngan yang banyak dialami para pekerja penyandang disabilitas diakibatkan dari lingkungan yang masih cenderung memberikan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas dan juga self advokasi yang masih minim dilakukan oleh penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan pemerintah tidak hadir dalam memberikan pengetahuan tentang self advokasi sehingga perundungan atau pembullyan yang didapatkan terus terjadi begitu saja atau dibiarkan tanpa adanya langkah penanganan khusus.

“Memang masyarakat kita masih cenderung memberikan stigma negatif ditambah lagi misalnya tidak ada self advokasi bagi penyandang disabilitas itu sendiri sehingga terjadi pembiaran begitu saja,” ungkapnya

Selanjutnya, kasus penempatan atau proporsi yang tidak adil bagi penyandang disabilitas menjadi evaluasi bersama kata Syarif untuk bagaimana menyediakan akomodasi yang layak atau reasonable accomodation oleh pihak perusahaan dan berbagai instansi misalnya seperti menyediakan pendamping atau jabatan dan posisi yang disanggupi.

“Menjadi evaluasi bersama sebenarnya bagaimana pihak perusahaan itu harusnya menyediakan akomodasi yang layak, itulah yang dikatakan dengan reasonable accommodation misalnya menyediakan pendamping dari sesama wartawan atau alat pendukung lainnya. Nah nanti akan ada waktu dimana pendamping itu tidak lagi dibutuhkan,” ujarnya

Syarif pun berharap rencana aksi strategis yang bakal dilakukan pemerintah dalam membangun ekonomi yang inklusif khususnya bagi penyandang disabilitas dapat lebih mendorong ekonomi dan tentunya menyediakan akses yang aman dan ramah disabilitas. Namun, rencana itu harus melibatkan para penyandang disabilitas untuk mengetahui pasti akses dan masalah yang saat ini dihadapi oleh penyandang disabilitas.

Cerita Iin, Erlina dan Ismail adalah suara-suara yang selama ini tidak didengarkan oleh pemerintah dan perusahaan dengan mengabaikan hak-hak yang harusnya mereka dapatkan. Bahkan, meski dengan adanya Undang-undang nomor 8 tahun 2016 yang mengatur tentang hak-hak penyandang disabilitas, pemerintah masih juga belum mewujudkan aturan tersebut.

Bagaimanapun mereka berharap bisa mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sama seperti orang lainnyaagar dapat hidup mandiri dan menghidupi keluarga tanpa mendapatkan perlakuan diskriminasi dan dipandang berbeda sedikitpun.

Untuk diketahui, liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan The Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Penulis : Andini

Editor : Herlin Sadid

Pemprov Sulsel
DPRD Kota Makassar
Pemkab Sinjai
Kabar Serupa :
Pesan Damai untuk Dunia Pada Piala Dunia 2022
Kabar Tajuk

Pesan Damai untuk Dunia Pada Piala Dunia 2022

21.11.2022 - 13:35
Tajuk: Belajar Dari Liga Champion Tahun Ini
Kabar Tajuk

Tajuk: Belajar Dari Liga Champion Tahun Ini

09.05.2019 - 04:00
Jejak Perjuangan Perempuan Sulawesi Selatan
Kabar Tajuk

Jejak Perjuangan Perempuan Sulawesi Selatan

21.04.2019 - 03:51
Pemilu 2019 dan Jurnalisme Kolaboratif Indonesia
Kabar Tajuk

Pemilu 2019 dan Jurnalisme Kolaboratif Indonesia

16.04.2019 - 13:16
Pelindo