KabarMakassar.com -- Kisah pilu datang dari sepasang suami istri (Pasutri) Soreang Daeng Ngesa dan Ittia di Kabupaten Takalar. Keduanya tinggal di sebuah rumah gubuk berkuran 5 meter persegi (2,5 x 2,5 meter) yang dibangun di atas tanah milik orang lain.
Berdasarkan hasil penelusuran, untuk bisa menjumpai Pasutri ini, harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Keduanya tinggal jauh dari pemukiman penduduk bahkan hampir dikatakan di tengah hutan di perbatasan Dusun Laikang dan Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar.
Untuk bisa mengunjunginya, harus menempuh perjalanan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak tempuh 2 kilometer. Belum lagi, jalan yang kita lewati adalah tanah jika hujan pasti becek, dan harus berjalan kaki menuju kekediaman Daeng Ngesa dan Ittia.
Sangat memilukan diusianya yang diperkirakan setengah abad, keduanya harus tinggal di sebuah gubuk reot yang dibangun di atas tanah milik warga lain juga tanpa ada fasilitas lampu juga air bersih.
Keduanyapun bertahan hidup dengan mengandalkan berkebun juga di tanah milik orang lain.
Saat ditemui wartawan kondisi kesehatan Daeng Ngesa (Suami Ittia) dalam keadaan fisik yang lemah. Lantaran mengalami demam dan sakit kepala.
"Bagaimana kondisita pak?," tanya wartawan kepada Daeng Ngesa.
"Iye, lagi sakit kepala," jawabnya yang diartikan dalam bahasa Makassar.
Daeng Ngesa bersama istrinya Ittia sudah lama menetap dilokasi tersebut. Sejak musim penghujan ini tiba, ia bersama istrinya jarang tertidur lelap lantaran rumah yang dibuatnya bocor.
Apa lagi, sarana listrik yang tidak dimiliki Pasutri tersebut harus menggunakan pencahayaan yang terbuat dari bahan botol yang diisi minyak tanah.
"Kalau hujan keras pak, tidak tidur. Apa lagi Guntur dan Kilat. Saya sama istriku berjaga-jaga yang mana bocor atap rumah. Iye, lampu minyak tanah ji dipake. Ada ji lampu caz tapi ke rumah warga pa yang ada listrik caz ki, tidak lama ji tahannya," ungkapnya.
Meski demikian, Daeng Ngesa mengku musim hujan merupakan sebuah keberkahan baginya, pasalnya ia dan istri dapat memperoleh air yang mana jika bukan musim hujan ia harus ke rumah warga dengan menempuh jarak 2 kilometer untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
"Iye, kalau air di komsumsi hari-hari biasa ambil dirumah warga jalan kaki," tuturnya.
Selama menetap jauh dari padat penduduk. Pasutri tersebut tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Baik itu BLT, PKH ataupun bantuan lainnya semasa pandemi Covid-19 melanda.
Bahkan karena jarak yang jauh dari pemukiman warga bantuan dari warga pun tak pernah ia terima.
Kata salah satu warga Ari Daeng Tompo yang menemani wartawan menuju kediaman Pasutri tersebut berharap pemerintah ataupun para dermawan memberikan bantuan. Alasannya, warga seperti inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah setempat.
"Kalau saya berharap Daeng Ngesa ada yang bantu, kalau bisa dibantu dapatkan tempat tinggal yang layak, kayak rumah yang tidak jauh tempatnya seperti ini, apalagi bukan tanahnya," pungkas Daeng Tompo.
Penulis : Abdul Kadir
Editor : Herlin Sadid