KabarMakassar.com — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, Bintang Puspayoga hadir pada Peringatan Hari Anak Nasional Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Ia menyoroti perkawinan anak perlu di tekan dan mengimbau agar dilakukan sinergi lintas sektor.
“Jadi kita kan harus cari solusi bersama-sama. Sinergi kolaborasi lintas menjadi penting, salah satunya apa yang dilakukan oleh Provinsi Sulawesi Selatan yang melakukan kerjasama dengan UNICEF,” ujarnya di Rumah Jabatan Gubernur pada Minggu (28/07).
Kerjasama yang dilakukan oleh Provinsi Sulawesi Selatan dan UNICEF nantinya dikemas dalam bentuk yang menarik agar pesan dapat diterima dengan lebih baik. Khususnya pada anak-anak.
“Kita ada peluncuran film animasi pencegahan perkawinan anak. Karena kalau kita bicara masalah perkawinan anak itu dampaknya sangat kompleks, tapi kita harus hadir bersama,” jelasnya.
Ia menilai perkawinan anak bukan hanya menjadi permasalahan pihak tertentu saja, tetapi semua harus turut memerangi perkawinan di usia anak.
“Tidak hanya pemerintah, tokoh agama, tokoh adat semua harus hadir dalam memerangi perkawinan di usia anak ini,” tegasnya.
Perkawinan usia anak, kata Bintang, bukan hanya menyangkut masalah ekonomi tetapi lebih dari itu. Faktor-faktor budaya juga menjadi salah satu faktor dari perkawinan anak tersebut.
Oleh karena itu, ia menyampaikan kehadiran tokoh agama dan tokoh adat menjadi sangat penting.
“Salah satu contoh baik di Sulawesi Selatan ini kami melihat di Wajo, sangat amat drastis penurunan perkawinan anak,” pungkasnya.
Perkawinan anak sendiri adalah pelanggaran hak anak baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Ini nantinya akan memiliki konsekuensi jangka panjang yang dapat mengancam sumber daya pembangunan manusia kedepan.
Dampak lain dari perkawinan anak adalah beresiko pada kualitas tumbuh kembang anak, putusnya pendidikan, kemiskinan ekonomi, sosial, serta resiko kesehatan reproduksi bagi ibu yang menikah pada usia anak maupun stunting pada anak yang dilahirkan.
Berdasarkan data BPS, prevalensi perkawinan anak di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 9,23 persen, kemudian turun menjadi 8,06 persen di tahun 2022, dan 6,92 persen di tahun 2023.
Dilansir dari laman resmi Bappelitbangda Sulsel, penurunan angka perkawinan anak telah melampaui target RPJMN tahun 2024 sebesar 8,74 persen dan hampir mencapai target SDGs tahun 2030 sebesar 6,94 persen, namun masih terdapat 18 provinsi yang angkanya di atas angka nasional termasuk Provinsi Sulawesi Selatan dengan angka 7,48 persen di peringkat 14 tertinggi.
Diharapkan pemerintah dapat terus berupaya menghapuskan praktik perkawinan anak yang dapat mengancam hak anak-anak.