Oleh: Ajun Jaksa Ramdhan Dwi Saputro, S.H., M.H
(Kasubsi A Kejaksaan Negeri Pinrang)
KABARBUGIS.ID – Dalam interaksi sosial, tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dari perbedaan itu, dapat menimbulkan konflik yang mengarah pada terjadinya tindak pidana.
Bahkan karena emosi sesaat, pihak yang merasa dirugikan dan menjadi korban sering kali menempuh jalur hukum sebagai pilihan penyelesaian perkara.
Setelah mengambil tindakan berdasarkan emosi sesaat, pihak korban maupun pelaku terkadang berubah pikiran. Disatu sisi pelaku menyesali perbuatannya dan disisi lain korban tidak ingin melanjutkan perkara karena telah memaafkan pelaku.
Terkait dengan fakta tersebut diatas, Jaksa alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menghimbau kepada masyarakat untuk tidak perlu khawatir, karena keinginan untuk menyelesaikan perkara yang sudah masuk tahap penuntutan, tetap dapat dilakukan penghentian penuntutan oleh Jaksa berdasarkan keadilan restoratif.
Apakah itu keadilan restoratif ?
Istilah keadilan restoratif pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eglash. Menurut Eglash, keadilan restoratif merupakan prinsip restitutif dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku (Ahmad Syahril Yunus dan Irsyad Dahri, Restorative justice di Indonesia, 2021 : 19).
Secara sederhana, pengertian diatas dapat dimaknai bahwa tujuan dari keadilan restoratif adalah pemulihan dan penggantian baik material maupun non material terhadap korban akibat terjadinya tindak pidana sekaligus memperbaiki diri pelaku tindak pidana.
Bahwa untuk mencapai tujuan itu, pihak korban dan pelaku dapat duduk bersama dalam suasana kekeluargaan dan musyawarah dengan hati yang bersih menentukan pilihan penyelesaian perkara menuju perdamaian, bahkan sedapat mungkin menghindarkan tuntutan dan penjatuhan pidana.
Peran Jaksa Dalam Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif
Jaksa selaku penegak hukum dibidang penuntutan memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan maupun penghentian penuntutan. Wewenang tersebut hanya dimiliki Jaksa selaku penuntut umum dan tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain.
Wewenang Jaksa menghentikan penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tertulis “dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”
Wewenang tersebut menjadi pedoman bagi Jaksa menggunakan hati nurani dan kebijaksanaan dalam menentukan apakah perkara yang ditangani patut atau tidak dilanjutkan pada tahap penuntutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Jaksa sebelum mengambil tindakan penuntutan dapat memberikan kesempatan lebih dulu kepada korban dan pelaku untuk bermusyawarah menentukan penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Bahwa selain Jaksa, inisiatif melakukan musyawarah juga dapat dilakukan pihak korban dan pelaku dengan mengajukan permohonan baik secara lisan maupun tertulis kepada Jaksa.
Permohonan tersebut harus diajukan secara langsung tanpa melalui perantara atau pihak manapun guna mencegah adanya informasi yang salah dan merugikan para pihak baik korban maupun pelaku.
Bahwa terkait dengan pengajuan permohonan dan proses musyawarah, Jaksa yang pernah mendapat penghargaan wisudawan terbaik II Magister Hukum Universitas Airlangga ini menekankan tidak boleh ada intimidasi, tekanan atau paksaan terhadap korban dan keluarga korban, karena korban adalah pihak yang secara langsung dirugikan atas tindak pidana yang terjadi, sehingga hak yang dimiliki harus dilindungi.
Dalam musyawarah tersebut, Jaksa bertindak selaku fasilitator dengan mempertemukan pihak korban dan pelaku dalam suasana kekeluargaan untuk bermusyawarah mencari solusi terbaik dengan memperhatikan kepentingan korban, kepentingan pelaku dan kepentingan umum.
Apabila dalam musyawarah tersebut tercapai kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku sekaligus adanya keinginan dari korban untuk tidak melanjutkan perkara, maka terhadap perkara tersebut Jaksa selaku Penuntut Umum dapat melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Namun perlu menjadi perhatian bersama bahwa musyawarah tersebut hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang tidak memiliki ancaman dan bahaya serius terhadap kepentingan umum dan kepentingan korban.
Apabila akibat dari tindak pidana yang terjadi memiliki tingkat ancaman dan bahaya yang serius bagi kepentingan umum maupun kepentingan korban, maka terhadap tindak pidana tersebut tetap dilakukan penuntutan.
Penuntutan tetap dilakukan karena Jaksa selaku wakil Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan yang lebih besar yaitu masyarakat, korban dan negara.
Syarat Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Secara teknis, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diatur dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam pedoman tersebut, telah diatur secara jelas syarat-syarat perkara pidana dapat dilakukan upaya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagai berikut :
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana ;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun ; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Contoh Tindak Pidana Yang Dapat Dilakukan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Apabila merujuk pada ketentuan diatas, maka beberapa contoh tindak pidana yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain penganiayaan, penipuan, penggelapan, penadahan, pencurian, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas dan tindak pidana lain yang memenuhi syarat sebagaimana dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 diatas.
Manfaat Adanya Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
a. suatu penyelesaian yang efektif dan efisien berdasarkan asas keseimbangan, musyawarah, rasa keadilan dan saling memaafkan ;
b. Meletakkan kepentingan korban pada kedudukan yang sentral dan utama dalam menentukan keberhasilan dari proses musyawarah perdamaian ;
c. penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif bukan untuk membenarkan kesalahan pelaku, tetapi justru membuka ruang dan kesempatan bagi pelaku untuk menyesali perbuatannya dan secara langsung meminta maaf kepada korban dalam suasana yang lebih humanis ;
d. Menghilangkan stigma hukum tajam kebawah tumpul keatas karena setiap orang memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan tanpa memandang kedudukan sosial ;
e. Menghilangkan permusuhan dan memupuk rasa kekeluargaan antara pelaku dan korban ;
f. memberikan pembelajaran kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana serupa.