kabarbursa.com
kabarbursa.com

Pengamat: Tren Deflasi Terus Berlanjut, PHK Bisa Terjadi

Tren Deflasi Terus Berlanjut, PHK Bisa Terjadi
Ilustrasi Deflasi (Dok: KabarMakassar)
banner 468x60

KabarMakassar.com — Deflasi kini terjadi baik secara nasional maupun regional di Sulawesi Selatan (Sulsel), dan telah berlangsung selama 5 bulan berturut-turut. Fenomena ini menimbulkan berbagai pandangan di kalangan pakar ekonomi.

Meskipun deflasi sering dianggap sebagai gejala penurunan daya beli masyarakat, kondisi deflasi kali ini mencerminkan fenomena yang lebih kompleks.

Pemprov Sulsel

Pakar Perbankan dan Keuangan, Surardjo Tui menyampaikan bahwa deflasi di Sulsel kali ini bukan disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat, melainkan adanya perubahan perilaku dalam pengelolaan keuangan.

Menurutnya, masyarakat kini semakin memahami cara memanfaatkan instrumen keuangan modern, seperti valuta asing, saham, dan sukuk, sehingga lebih banyak dana yang dialihkan ke sektor keuangan daripada ke sektor bisnis riil.

“Deflasi kali ini bukan karena daya beli masyarakat menurun, tetapi karena masyarakat semakin mengerti dalam mengelola keuangannya. Mereka mulai beralih ke bisnis finansial, seperti valuta asing, saham, dan sukuk, sehingga uang yang seharusnya digunakan dalam bisnis riil, beralih ke sektor keuangan,” jelas Surardjo, Rabu (09/10).

Menurutnya, hal ini berbeda dengan deflasi yang disebabkan oleh penurunan pendapatan, yang sering kali berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan krisis ekonomi. Saat ini, masyarakat lebih fokus pada investasi keuangan daripada konsumsi berlebihan, yang memberikan dampak positif dalam aspek pengelolaan ekonomi pribadi mereka.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Marsuki DEA, menilai bahwa tren deflasi yang berkelanjutan di Sulsel merupakan keadaan yang anomali. Menurutnya, deflasi ini menunjukkan adanya masalah serius dalam perekonomian, meskipun Indonesia telah pulih dari dampak negatif pandemi COVID-19 dan menghadapi suasana politik menjelang Pilkada serentak.

“Deflasi di Sulsel selama lima bulan berturut-turut merupakan gejala anomali. Ini terjadi setelah perekonomian pulih dari dampak pandemi dan dinamika politik. Ada masalah yang cukup berat di balik tren ini,” ungkap Prof. Marsuki.

Ia menyebutkan bahwa lemahnya daya beli masyarakat adalah penyebab utama dari deflasi ini. Banyak sektor ekonomi utama mengalami penurunan produktivitas, yang menyebabkan PHK besar-besaran.

Akibatnya, pendapatan masyarakat turun, sehingga permintaan terhadap berbagai produk, termasuk kebutuhan pokok, ikut melemah. Selain itu, kekhawatiran akan ketidakpastian ekonomi dan sosial membuat banyak pelaku ekonomi menahan belanja mereka, semakin memperburuk situasi.

Prof. Marsuki juga menyoroti pentingnya kebijakan strategis dari pemerintah untuk mengatasi deflasi ini. Ia menyarankan agar otoritas terkait memberikan kemudahan akses pembiayaan, perpajakan, dan perizinan bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang masih memiliki potensi besar untuk didukung.

Selain itu, ia menegaskan perlunya menjaga stabilitas harga-harga komoditas strategis, seperti BBM, listrik, dan air, serta memberikan keringanan pajak bagi masyarakat yang terdampak.

“Tidak ada kenaikan harga-harga komoditas strategis dan perlu ada bansos yang transparan serta bertanggung jawab. Selain itu, distribusi barang dan operasi pasar perlu dilakukan secara luas untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka,” ujar Prof. Marsuki.

Secara keseluruhan, meskipun Sulsel saat ini mengalami deflasi, perubahan perilaku ekonomi masyarakat menuju sektor finansial memberikan harapan. Namun, pemerintah tetap perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah dampak lebih lanjut yang dapat menyebabkan resesi atau krisis ekonomi di masa mendatang.

Untuk informasi, Secara nasional, Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada September 2024, menandai deflasi kelima berturut-turut di sepanjang tahun ini.

Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi pada bulan September 2024 ini merupakan yang terdalam dalam lima tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini terjadi di tengah penurunan harga berbagai komoditas, khususnya bahan bakar non-subsidi.

Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangan resminya, Selasa (01/10) menekankan bahwa deflasi ini adalah yang paling signifikan jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang sama dalam lima tahun terakhir.

“Deflasi bulan September 2024 ini merupakan yang terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan angka deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan,” kata Amalia.

Deflasi ini melanjutkan tren yang sudah terjadi sejak Mei 2024, di mana Indonesia mulai mencatat deflasi sebesar 0,03 persen. Kondisi ini terus memburuk pada bulan-bulan berikutnya dengan deflasi sebesar 0,08 persen pada Juni 2024, kemudian mencapai puncaknya di 0,18 persen pada Juli 2024.

Meski Agustus 2024 sempat menunjukkan perbaikan dengan deflasi kembali ke level 0,03 persen, pada September 2024 deflasi kembali memperdalam hingga 0,12 persen.

Menurut Amalia, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini terutama disebabkan oleh penurunan harga komoditas yang tergolong bergejolak, seperti bahan bakar non-subsidi dan beberapa komoditas makanan. Ia mencatat bahwa harga bensin dan solar turun tajam pada September 2024, yang berdampak langsung pada angka deflasi.

Penurunan harga bensin ini menyumbang andil deflasi sebesar 0,04 persen, menjadikannya deflasi terdalam sejak Desember 2023.

Kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang utama deflasi pada September 2024. Kelompok ini mencatat deflasi sebesar 0,59 persen, dengan kontribusi terhadap deflasi keseluruhan mencapai 0,17 persen. Beberapa komoditas dalam kelompok ini, seperti cabai dan beras, mengalami penurunan harga yang signifikan, turut menekan inflasi.

Deflasi tidak hanya dirasakan secara nasional, tetapi juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dari 38 provinsi, 24 provinsi mencatat deflasi pada bulan September 2024. Papua Barat menjadi provinsi dengan deflasi terdalam, mencapai 0,92 persen, sedangkan Maluku Utara mencatat inflasi tertinggi dengan angka 0,56 persen. Hal ini menunjukkan adanya variasi dalam pola harga komoditas di berbagai daerah.

“Sebanyak 24 provinsi mengalami deflasi bulan ini, dengan Papua Barat mencatat deflasi terdalam sebesar 0,92 persen, sementara Maluku Utara mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,56 persen,” ungkap Amalia.

Meskipun secara bulanan mencatat deflasi, secara tahunan (year-on-year/yoy), Indonesia masih mencatat inflasi sebesar 1,84 persen. Inflasi ini dihitung dari perubahan indeks harga konsumen (IHK) yang naik dari 104,02 pada September 2023 menjadi 105,93 pada September 2024. Selain itu, inflasi secara tahun kalender (year-to-date/ytd) mencapai 0,74 persen hingga September 2024.